Taiwan langsung mengaktifkan National Health Command Centre yang telah mereka siapkan setelah wabah SARS pada tahun 2004. Pengaktifan ini memungkinkan pemerintah memiliki dasar koordinasi antar departemen di pemerintahan dalam menghadap wabah Covid-19. Selain itu, Taiwan juga menggunakan Big Data yang diintegrasikan dengan data dari National Health Insurance serta data base Imigrasi dan Bea Cukai. Sehingga ketika seorang dokter memeriksa seorang pasien, dia sudah tahu bahwa pasien tersebut telah melakukan perjalanan kemana saja. Pemeriksaaan pun akan berjalan lebih cepat. Ketika ada seorang datang dari Wuhan, dokter tidak lagi bertanya mereka datang dari mana, tapi bertanya lebih dalam mereka mengalami demam atau batuk dan mereka akan memintanya untuk mengikuti test Covid-19. Taiwan mengintegrasikan data dan menggunakannya untuk mendeteksi kedatangan penyakit menular.
Selain itu, pemerintah juga menggunakan telepon selullar serta data lokasi untuk mengkarantina masyarakatnya. Pegawai dinas kesehatan akan menghubungi traveller yang ada dalam karantina, dua atau tiga kali untuk memastikan bahwa symptom yang mereka alami tidak bertambah buruk. Apabila symptom yang mereka alami bertambah buruk, maka mereka akan mendatangkan dokter. Apabila dokter tidak datang dan mereka akan meneruskan mengkarantina diri di rumah, maka pegawai pemerintah Taiwan akan mengantarkan makanan ke rumah mereka.
Namun apabila orang tersebut keluar rumah tidak patuh mengikuti instruksi karantina, maka petugas akan datang ke rumahnya untuk memberi denda besar. Namun kalau mereka tinggal di rumah, mereka akan dibayar. Karenanya, orang tidak perlu khawatir untuk diam di rumah. Karena selain disiapkan makanan, dia juga dibayar.
Pemerintah juga mengantisipasi kekurangan supply alat-alat medis. Pembuatan masker serta distribusinya, dikontrol dengan ketat oleh pemerintah. Karena mereka menyadari bahwa ini adalah material yang sangat penting dalam menghadapi epidemik. Taiwan mengimplementasikan lebih dari 120 protokol selama penyebaran wabah ini. Mereka juga menahan kedatangan masyarakat ke rumah sakit. Apabila mereka mengalami symptom kemudian demam mereka akan dibawa ke tempat lain untuk dirawat. Prosedur ini berlaku sama di setiap institusi.
Selain itu, di gedung-gedung umum apabila orang berjalan, terdapat scanner yang akan mendeteksi apakah orang mempunyai demam atau tidak. Bila dia demam, maka dia tidak bisa memasuki gedung secara otomatis. Karenanya sekolah tetap buka, anak-anak tetap pergi ke sekolah dan suhu badannya sudah tersimpan di komputer.
Di Amerika sendiri, sampai bulan Maret terdapat 14.000 kasus corona. Tapi menurut Wang, angka real nya mesti jauh lebih tinggi. Karena Amerika terlambat melakukan test. Menurut Jason Wang, pemerintah federal Amerika beserta beberapa negara bagian, tidak memberikan perhatian besar terhadap infrastruktur kesehatan seperti yang ditunjukan Taiwan. Karenanya Amerika tidak bergerak cepat ketika wabah ini datang. Amerika adalah negara yang terlambat merespon wabah Corona
Diluar infrastruktur kesehatan Taiwan yang sudah siap menghadapi wabah, adalah hal yang menarik melihat pada faktor sosial dan budaya Taiwan. Seorang youtuber bernama Lukas Engstrom dalam video nya yang berjudul : Covid-19 in France, Sweden and Canada vs Taiwan, sempat mengungkapkan sisi sosial budaya Taiwan dibanding beberapa negara Eropa. Menurut Engstrom, beberapa negara Eropa mempunyai kebiasaan bersalaman, berangkulan, dan cium pipi ketika bertemu. Bahkan negara seperti Prancis, mempunyai istilah France Kisses untuk menggambarkan kebiasaan mereka ketika bertemu. Padahal sebagaimana diketahui, itu kebiasaan seperti itu mempermudah penularan virus. Sementara di Taiwan, orang cukup mengangkat dan menggoyangkan tangan. (Penulis adalah Ketua Bidang Luar Negeri Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)