Kabupaten Muna Dalam Perang Melawan Covid-19

Oleh : Diyah Rumandang

Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang pertama kemunculannya di Wuhan-China sejak periode desember 2019 lalu, kini sudah menjadi sebuah pandemi. Sudah lebih dari 200-an negara di dunia yang mengkonfirmasi adanya temuan kasus infeksi virus corona di wilayahnya. Salah satunya termaksud di Indonesia.

Dalam laporan Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 pertanggal 20 April 2020, tercatat di Indonesia sendiri ada 6.760 terkonfirmasi positif, 747 pasien sembuh, dan ada 590 kasus meninggal dunia. Sedang, berdasarkan laporan kanal media daring worldometers.info dalam Coronavirus Update (Live), tercatat di seluruh dunia ada 2.416.135 terkonfirmasi positif, 632.983 pasien sembuh, dan ada 165.939 kasus meninggal dunia – update pertanggal 20 april 2020, pukul 21:42 WITA.

Dari rekapitulasi statistik diatas menjelaskan bahwa meskipun Covid-19 ini mematikan, namun disisi lain terdapat presentase kesembuhan yang jauh labih potensial. Namun, dalam keadaan civil society yang gagap dan panik menghadapi pandemi ini, potensi kesembuhan tersebut sulit untuk dicerna.

Orang-orang cenderung lebih memfokuskan perhatian mereka pada angka-angka kematian dan mengkonstruksi kepanikan berlebih dari refleksi angka-angka tersebut. Alhasil, muncul stigmatisasi terhadap pasien yang terkonfirmasi terpapar covid-19. Orang-orang berpandangan bahwa setiap pasien yang positif, besar potesi untuk meninggal dunia. Padalah, dari data statistik World Health Organization (WHO) menegaskan jumlah pasien sembuh jauh lebih besar dari jumlah pasien meninggal.

Tak terkecuali disini  –  di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Kabupaten yang terbilang cukup gaduh, yang segala perdebatan acapkali dikaitkan ke ranah politik. Di kabupaten ini, segala hal dikendalikan secara politik. Bahkan penanganan virus pun sering dilihat sebagai ajang berebut pengaruh untuk politik.

Ketidakseriusan pemerintah daerah dan masyarakat dalam menghadapi virus ini terlihat dari bagaimana kibijakan social distancing diabaikan, anjuran menggunakan masker ketika keluar rumah tidak diindahkan, maupun tanggap penanggulangan yang masih terbilang minim. Tidak tumbuhnya prinsip mitigasi terhadap bencana  dalam masyarakat maupun pemerintah daerah membuat kita jadi kalang-kabut menghadapi Covid-19 ini.

Terlebih, kurangnya sosialisasi edukatif tentang protokol penanganan kepada masyarakat membuat seluruh praktek sosial masyarakat terhadap pasien yang terpapar jauh dari konsepsi filantropi. Selain krisis kesehatan, masalah yang kita hadapi adalah krisis kemanusian.

Masyarakat tidak tumbuh dalam prinsip bahu-membahu dan saling menghidupkan. Gotong royong kemanusian hilang seketika, beriringan dengan dalih antisipasi.

Bias kognisi kian membiak. Masyarakat menerjemahkan ini sebagai personal trouble, yang penanganannya ditanggung oleh pribadi pasien sebagai konsekuensinya.

Corona virus di kabupaten Muna lebih terdengar seperti aib, yang darinya pasien positif lazim untuk dihujat dan diasingkan. Seolah-olah kita tidak punya tanggung jawab sosial dan individualis akut tertanam disitu.

Saya rasa dalam menghadapi pandemi harusnya tidak sebercanda ini.