Catatan: Maul Gani, Jakarta*
GATENEWS.ID – Suasananya benar-benar berbeda, kita mudah memastikan jika Muna akan kembali pada posisi semula, posisi dimana kearifan lokal dan falsafahnya kembali dipegang teguh. Setelah hampir setahun disibukan dengan penyambutan pesta demokrasi yang memacu adrenalin dalam meramu strategi dan langkah bidak merebut kemenangan.
Bukan Muna jika tanpa tensi tinggi, sebab secara gen, cerita politik dan Orang Muna seperti kulit dan daging. Mungkin kita harus telepon Wa Diana untuk menanyakan itu, “Ko tenang, yang penting sudah menang kune,” kata emak-emak yang semangat menceritakan bagaimana klimaksnya penantian panjang menunggu siapa yang memenangkan pertarungan.
Seperti itulah, Tuhan sepertinya, memang menciptakan tanah Muna khusus dibasahi ketuban para peramu strategi dalam setiap kelahiran. Bersifat ngotot, berani bertarung tetapi juga mengakui keunggulan lawan adalah modal utama yang mengokohkan tiang-tiang di kelahiran para Sugi ini.
“Mau belajar politik, di Muna tempatnya,” kata salah seorang pesohor di medio 90-an. Tidak sekedar itu, secara telaah kata daerah dengan luas 2,5 ribu kilometer ini tidak pernah kehabisan kader setiap dekadenya yang tembus di belantara perpolitikan nasional.
“Di zaman dulu, Muna memang dikenal sebagai daerah para diplomat, yang berurusan ahli strategi perang, negosiasi orang Muna ahlinya,” cerita Zakariah salah seorang sejarahwan Buton. Jadi tidak berlebihan, jika kemampuan politisi Muna telah terbukti sebelum republik ini berdiri.
Pesta demokrasi Desember 2020 lalu, Muna menjadi sorotan utama dalam memilih pemimpinnya. Bertarungnya dua tokoh terbaik, semua tampak menarik, sejak keduanya deklarasi dan menyampaikan niatan. Semua orang tampak memilih barisan tempurnya masing-masing dan bersiap untuk melakukan ‘serangan-serangan’ terukur.
Lembaga survey seperti ragu menyebut jika ada margin buat masyarakat Muna dalam keberpihakannya secara politik, tidak ada politik tanpa keberpihakan, bahkan saudara kembarpun bisa menunjukan keberpihakan dengan pertimbangan rasional dan dewasa.
Dari pemilih pemula, hingga para sepuh turun gunung untuk mengambil peran, semuanya menggambarkan jika dalam perang gagasan dan membangun daerah semua diselesaikan di arena terhormat, di podium-podium kampanye.
Konsekensinya satu, menang dan kalah tetap melalui proses yang tak mudah namun elegan. Menang terhormat dan kalah dengan tetap kepala tegak karena menyelesaikan klimaks pertaruhan secara baik. Nahkoda harus satu pasangan yang sah secara hukum, konsekuensi pertarunganpun melekat di dalamnya.
Tidak Sekedar Berebut Tahta