PROBLEMATIK PENERAPAN HUKUMAN KEBIRI TERHADAP PELAKU KEKERASAN SEKSUAL ANAK

OLEH : MASRI SAID, S.H.,M.H.
(Advokat & Founder / Managing Partners MSC LAW FIRM)

Kasus teranyar yang sempat menggemparkan warga Sulawesi Tenggara, khususnya kota Kendari dan menjadi viral di jagad maya atau media sosial (medsos) yaitu kasus penculikan dan pencabulan 6 orang anak oleh seorang pedofil. Kendati sempat banyak spekulasi yang berkembang dimasyarakat sebelum pelaku berhasil dibekuk oleh aparat gabungan TNI dan POLRI, bahwa pelaku penculikan dan pencabulan kemungkinan lebih dari 1 orang dan juga termasuk soal pelaku adalah oknum TNI Aktif atau eks TNI yang telah resmi diberhentikan turut menambah keresahan warga, tetapi setelah terduga pelaku berhasil ditangkap dan dijebloskan kedalam sel tahanan Mapolda Sultra maka perlahan semua spekulasi mulai tersingkap dan fakta mulai terungkap bahwa pelaku kekerasan seksual anak adalah pelaku tunggal yang belakangan diketahui dengan inisial (AP). Pelaku adalah eks anggota TNI yang saat ini telah dipecat dari kesatuannya berdasarkan keterangan Pangdam XIV Hasanuddin melalui rilisnya dibeberapa media online.

Kasus kekerasan seksual pada anak semacam ini tentu menjadi hal yang paling menakutkan dan mengkhawatirkan masyarakat khususnya bagi para orang tua yang memiliki anak yang usianya masih dibawah umur. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan dan bathin orang tua dan keluarga yang anaknya menjadi korban kebejatan pelaku, hancur dan tercabik ibarat daging yang terkoyak, mungkin begitulah gambaran perasaan orang tua korban. Publik pun merespon hal yang sama karena itu banyak masyarakat yang mengutuk keras aksi bejat tersebut dan dalam kecamuk emosi publik apalagi orang tua korban pasti menginginkan agar pelaku mendapat ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya dan mayoritas publik menginginkan agar pelaku dihukum seberat-beratnya. Bahkan ada diantara netizen yang berujar agar pelaku di hukum dengan pidana mati atau seringan-ringannya adalah hukuman penjara seumur hidup plus hukuman “Kebiri” bagi pelaku. Demikianlah publik merespon setiap tindak kejahatan yang terjadi, dalam kasus semisal pencurian saja emosi publik kerap tidak bisa dibendung bahkan sampai terjadi aksi main hakim sendiri hingga terduga pelaku meninggal dunia.

Apalagi dengan jenis tindak pidana sebagaimana yang dilakukan Pelaku (AP) yakni kekerasan seksual pada anak. Untung saja pelaku tidak hakimi ramai-ramai oleh masyarakat saat pelaku berhasil ditemukan dan ditangkap aparat berkat kesigapan aparat penegak hukum.

Menarik bagi penulis untuk mengulas dari optik hukum tentang jenis hukuman “Kebiri” sebagaimana dikehendaki penerapannya oleh banyak kalangan termasuk dari aktivis perempuan dan anak. Mungkin masih banyak masyarakat yang salah kaprah dan salah persepsi tentang hukuman kebiri dimaksud. Dalam pemahaman publik bahwa kebiri adalah hukuman bagi pelaku dengan cara alat kelamin pelaku pedofil dipotong. Apakah memang demikian yang dimaksud kebiri ? apa dasar hukum pemberlakuan hukuman kebiri ? serta bagaimana penerapan / problematik penerapannya dalam hukum pidana di Indonesia. Sekedar memperkaya khasanah pengetahuan kita tentang isu hukum ini maka penulis mencoba mengulasnya sebagai berikut :
Sebelum mengulas lebih jauh tentang jenis hukuman kebiri, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu jenis hukuman (pidana) sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum pidana yang berlaku di Indonesia yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dikenal 2 (dua) jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa/pelaku kejahatan yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.

Ketentuan tentang jenis pidana ini diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang menyebutkan bahwa pidana pokok terdiri : a) Pidana Mati, b) pidana penjara, c) pidana kurungan, d) pidana denda, e) pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan yaitu : a) Pencabutan beberapa hak tertentu, b) Perampasan barang tertentu, c) Pengumuman putusan hakim ;
Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, jenis pidana pokok hingga saat ini tidak mengalami perubahan atau pengembangan namun berbeda dengan pidana tambahan yang telah mengalami perkembangan. Pengaturan mengenai pidana tambahan juga terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya seperti dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 31/1999”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pidana tambahan diantaranya : pembayaran uang pengganti, perampasan barang, penutupan perusahaan, dan pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Dasar Hukum Pengaturan Hukuman Kebiri
Hukuman kebiri adalah salah satu dari jenis pidana tambahan yang diatur diluar dari KUHP, pidana Kebiri diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 yang hingga saat ini juga masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Terbitnya Perpu ini dilatar belakangi oleh situasi dan kondisi darurat kekerasan seksual terhadap anak yang makin marak terjadi di Indonesia. Kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan serius (serious crimes) yang semakin meningkat dari waktu ke waktu dan secara signifikan mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa kenyamanan, ketentraman, keamanan, dan ketertiban masyarakat.

Desakan masyarakat kepada negara agar ada keseriusan dalam upaya memastikan anak sebagai generasi penerus bangsa berada dalam perlindungan maksimal dari perilaku-perilaku menyimpang para predator anak yang dapat merusak dan menghancurkan masa depan anak Indonesia. Termasuk juga upaya penegakan hukum yang tegas bagi pelaku kekerasan anak.

Kembali soal hukuman kebiri sebagai salah satu jenis pidana tambahan, jika merujuk pada ketentuan pasal 81 ayat (7) Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang telah ditetapkan sebagai Undang-Undang No.17 Tahun 2016 diatur 4 (empat) jenis pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku pedofil yaitu pengumuman identitas pelaku, Kebiri Kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik dan rehabilitasi.

Dari ketentuan tersebut ternyata yang dimaksud dengan kebiri bukanlah hukuman dalam arti bahwa alat vital pelaku yang akan dipotong tetapi yang dimaksud adalah kebiri kimia. Tidak ada penjelasan rinci soal definisi / konsep dan tata cara penerapan kebiri kimia tersebut tetapi menurut Deputi Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Sujatmiko, memberikan penjelasan terkait polemik yang timbul di masyarakat. Ia mengatakan, ada beberapa hal yang harus diketahui oleh masyarakat mengenai hukuman kebiri. Ia menjelaskan, hukuman kebiri akan diberikan melalui suntikan kimia dan dibarengi dengan proses rehabilitasi. Proses rehabilitasi tersebut untuk menjaga pelaku tidak mengalami efek negatif lain selain penurunan libido. Suntikan kimia ini pun sifatnya tidak permanen.

Menurut Sujatmiko, efek suntikan ini hanya muncul selama tiga bulan. Oleh karena itu, suntikan kimia akan diberikan secara berkala kepada pelaku melalui pengawasan ketat oleh ahli jiwa dan ahli kesehatan .